Kriminal

Kasus Disabilitas Mandek Dua Tahun, Kades Diduga Ucapkan “Harus Punya Uang 50 Juta”

CILACAP, News Lidik – Kasus dugaan pemerkosaan terhadap N (26), perempuan penyandang disabilitas mental asal Desa Gunungtelu, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, hingga kini belum menemui kejelasan hukum.

Korban disebut menjadi sasaran kekerasan seksual oleh kakeknya sendiri, S (70). Laporan yang sempat masuk ke kepolisian itu mandek tanpa perkembangan berarti selama dua tahun terakhir.
Menurut pengakuan keluarga korban yang didampingi LSM HARIMAU, Kepala Desa berinisial A diduga sempat mengeluarkan ucapan yang membuat keluarga korban takut melanjutkan kasus.
“Pak Kades ngomong karo aku, nek pengin kasus iki diteruske utawa diproses, kudu duwe duit 50 juta kanggo biaya hukum,” ujar orang tua korban kepada pendamping LSM HARIMAU.
Keluarga yang hidup pas-pasan merasa tidak mampu memenuhi perkataan tersebut dan akhirnya mencabut laporan yang sudah diajukan.
Ketua PAC Patimuan, Mujiaman, mengecam keras dugaan pernyataan tersebut.
Ia menilai hal itu tidak etis diucapkan oleh seorang pejabat desa, apalagi dalam kasus yang melibatkan korban disabilitas.
Ditemui sergap.live di sekretariat PAC Patimuan, Mujiaman menegaskan bahwa keadilan tidak boleh diukur dengan uang.
“Keadilan tidak boleh diukur dengan uang. Kalau benar ada pernyataan seperti itu, ini bentuk tekanan dan bisa dikategorikan sebagai penghalangan proses hukum,” tegasnya, Senin (28/10/2025).
Mujiaman mengingatkan bahwa berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), kasus semacam ini termasuk delik biasa, sehingga aparat wajib memproses tanpa perlu laporan resmi.
“Negara harus hadir untuk korban disabilitas. Kalau dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap hukum bisa runtuh,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi sergap.live, Kades A belum memberikan tanggapan substantif. Ia hanya menyampaikan singkat bahwa dirinya “masih sibuk dengan kegiatan di desa”.
Pendamping dari LSM HARIMAU mendesak aparat penegak hukum (APH) segera bertindak, mengingat kasus ini menyangkut korban dengan kerentanan ganda: perempuan dan penyandang disabilitas.
“Kita tidak boleh diam. Ini persoalan kemanusiaan,” pungkas Mujiaman.
(Sukendar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *